Beberapawaktu yang lalu banjir besar melanda Jakarta. Ribuan rumah tenggelam. Kerugian mencapai 39,5 milyar rupiah dan menelan korban 10 orang meninggal. Seorang penduduk di luar Jakarta menyurati re JAKARTA- Hujan yang mengguyur wilayah Jabodatabek sejak sore kemarin telah mengakibatkan banjir di sebagian besar wilayah dan juga di simpul simpul transportasi, termasuk stasiun. Dari data Pusdalopka 1 Jakarta beberapa perjalanan kereta jarak jauh, KA Bandara dan KRL terpaksa molor atau dibatalkan. Untuk KA Jarak jauh yang mengalami keterlamatan pemberangkatan bevariasi dari 15 menit sampai Beberapawaktu yang lalu banjir melanda Jakarta. Ribuan rumah tenggelam. Kerugian mencapai 39,5 miliyar rupiah dan menelan korban 10 orang meninggal. Seorang penduduk di luar Jakarta menyurati redaksi sebuah surat kabar. Surat tersebut berisi pernyataan terhadap kondisi Jakarta. Banjirjuga melanda Bandara Halim Perdanakusuma dan menyebabkan lalu lintas penerbangan di bandara tersebut lumpuh. Aktivitas penerbangan pun dialihkan ke Bandar Udara Soekarno-Hatta, hingga waktu yang belum ditetapkan. Kita prihatin atas terjadinya kembali banjir di Jakarta. Setelah jeda beberapa waktu, persoalan klasik yang melanda Ibu Kota Jakarta- Bagai abu di atas tanggul, sejumlah negara yang sedang kelimpungan menghadapi wabah Virus Corona COVID-19 juga terancam oleh bencana alam dalam beberapa bulan ke depan. Melansir DW Indonesia, Jumat (17/4/2020), cuaca ekstrem semisal badai, gelombang panas dan bencana banjir diprediksi akan melanda sejumlah kawasan Asia, dari India hingga Filipina, tahun ini. Vay Tiền Trả Góp 24 Tháng. Jakarta - Banjir merupakan bencana alam yang umum terjadi di sebagian wilayah Indonesia. Tak terkecuali dihadapi oleh Ibu Kota Jakarta. Bencana banjir Jakarta menjadi mimpi buruk bagi warga karena mematikan aktivitas sehari-hari, bahkan sering menelan korban jiwa. Lantas, kapan saja banjir terparah yang pernah melanda wilayah Jakarta?Banjir Terparah di Jakarta Sepanjang SejarahBencana banjir disebabkan oleh faktor alam seperti curah hujan. Di samping itu, banjir juga bisa terjadi karena ulah umat manusia. Restu Gunawan dalam buku bertajuk "Gagalnya Sistem Kanal Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa" menuliskan sejarah banjir dahsyat di Jakarta yang bermula pada 1918. Berikut ini banjir di Jakarta yang terparah sepanjang Banjir Besar Jakarta Pada Awal Tahun 2020Banjir terparah sepanjang sejarah paling baru menerjang Jakarta saat pergantian tahun 2019 ke 2020. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika BMKG mencatat, curah hujan ekstrem yang mencapai 377 milimeter mm ialah penyebab utama terjadinya banjir. Angka tersebut menjadi rekor curah hujan tertinggi yang menerpa wilayah Jabodetabek. Akibatnya, sejumlah pemukiman warga dan ruas jalan terendam banjir pada Rabu, 1 Januari buku "Gagalnya Sistem Kanal Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa", tercatat 24 korban meninggal dunia karena hanyut, cedera, hingga tersengat kabel listrik. Ada lebih dari 31 ribu warga mengungsi dan 724 wilayah terdampak pemadaman listrik. Di sejumlah titik, arus lalu lintas pun tidak bisa beroperasi. Banyak kendaraan, baik mobil maupun motor yang terendam banjir, bahkan terseret arus Banjir Ekstrem Jakarta 2018Banjir Jakarta terparah selanjutnya terjadi pada 2018. Banjir ekstrem ini menerjang Kota Jakarta di puncak musim hujan pada 5-15 Februari 2018. Padahal, tingkat keparahan banjir di Jakarta periode 2016 hingga 2018 telah berkurang semenjak perbaikan sistem drainase dan resapan. Namun, banjir masih merendam sebagian wilayah Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta data BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jakarta, sekitar 53 RW dari 18 kelurahan di seluruh wilayah Jakarta tergenang banjir. Akibatnya, sekitar warga Jakarta terpaksa harus mengungsi. Selain itu, Kepala BPBD DKI, Jupan Royter, menyampaikan bahwa sepanjang 2018 sebanyak 46 kejadian banjir telah merendam pemukiman Banjir Bandang Jakarta Tahun 2015Banjir besar yang melanda DKI Jakarta sejak 9 Februari 2015 menambah deretan banjir terparah di Jakarta. Tercatat 38 kecamatan terendam banjir. Beberapa kawasan yang diterjang banjir terparah ini di antaranya Kelapa Gading, Mangga Dua, dan warga terdampak banjir dan lainnya mengungsi. Banjir menghentikan sebagian aktivitas warga dan menyebabkan terganggunya lalu lintas hingga KRL. Kerugian akibat banjir ini ditaksir mencapai Rp 1,5 Bencana Banjir Jakarta 2014Banjir terparah juga sempat terjadi pada 2014 silam. Banjir dahsyat ini menenggelamkan sejumlah kecamatan di DKI Jakarta. Pada saat itu, curah hujan mencapai 104 mm per hari. Berdasarkan data yang dihimpun BNPB, total jumlah orang yang tewas di provinsi DKI Jakarta mencapai 23 jiwa. Sebanyak warga terdampak banjir dan jiwa menetap sementara di 253 titik pengungsian. Banjir ini memakan kerugian materi hampir Rp 5 triliun. 5. Banjir Jakarta Tahun 2013 dengan Kerugian TerbesarPada awal 2013, tepatnya 15-21 Januari 2013, Jakarta diterjang musibah banjir besar. Bencana banjir ini diakibatkan oleh tingginya intensitas hujan yang mengguyur ibu kota sejak akhir Desember 2012. Hal itu diperparah lagi dengan sistem drainase yang buruk dan beberapa tanggul jebol. Sejumlah 20 warga dilaporkan meninggal dunia dan lainnya diungsikan. Kerugian yang ditaksir cukup fantastis, yakni mencapai Rp 20 Bencana Banjir Jakarta Tak Terduga Tahun 2007Iklan Banjir terparah yang melanda ibu kota selanjutnya yakni banjir pada 2007. Banjir periode ini diakibatkan hujan lebat yang disertai sistem drainase yang buruk. Bermula ketika hujan lebat mengguyur Jakarta selama dua hari sejak 1 Februari 2007 malam. Bencana ini menyebabkan 60 persen dari luas wilayah Jakarta tenggelam oleh air. Tragedi ini menelan korban sebanyak 80 jiwa hanya dalam kurun waktu 10 hari. Kerugian banjir tahun tersebut berkisar Rp 4,3 Banjir Jakarta Tahun 2002Salah satu banjir paling parah menerjang Kota Jakarta terjadi pada 2002, tepatnya sejak 27 Januari-1 Februari 2002. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, dalam "Evaluasi dan Analisis Curah Hujan sebagai Faktor Penyebab Bencana Banjir Jakarta" menjabarkan banjir saat itu mencapai ketinggian 5 meter. Sebanyak 24,25 persen wilayah Jakarta, meliputi 42 kecamatan yang terdiri dari 168 kelurahan tergenang air. Tragedi tersebut memakan korban jiwa sebanyak 21 Banjir Jakarta Tahun 1996Banjir terbesar menenggelamkan Jakarta pada 1996, tepatnya pada 9-11 Februari 1996. Tergolong mengerikan, ketinggian air di beberapa kawasan mencapai 7 meter. Sedikitnya 20 orang tewas dan lainnya mengungsi. Selain itu, 529 rumah dilaporkan hanyut terbawa arus air. Kerugian materi akibat bencana banjir ini mencapai Rp 6 Banjir Jakarta Tahun 1979Sejumlah wilayah ibu kota pernah tenggelam akibat banjir bandang pada 1979, tepatnya tanggal 19-20 Januari 1979. Sebanyak warga harus mengungsi saat banjir tersebut menerjang Kota Jakarta. Sebanyak 20 orang dilaporkan hilang. Daerah Pondok Pinang tergenang air setinggi 2,5 meter. Di daerah tersebut tercatat ada 3 orang yang Banjir Jakarta di Era Penjajahan Tahun 1918Banjir terparah di Jakarta pertama kali terjadi pada 1918. Kala itu, Jakarta diguyur hujan selama 22 hari sejak Januari-Februari 1918. Pada 4 Februari, Weltevreden kini menjadi daerah sekitar Lapangan Banteng tergenang air banjir. Wilayah pemukiman Tanah Tinggi, Kampung Lima, Kemayoran Belakang, Glodok, dan daerah-daerah sekitarnya juga turut tenggelam. Saat itu, tinggi air mencapai 1,5 meter di beberapa tadi banjir terparah sepanjang masa yang menerjang kota Jakarta. Ternyata sebelum merdeka, Indonesia sudah dilanda banjir, ya. LALA DITA PANGESTUBaca juga Daftar Lokasi Banjir Jakarta Imbas Hujan Deras - Banjir atau genangan air dan berawa-rawa ini merupakan penyakit menahun bagi Jakarta. Sejauh ingatan orang, Jakarta selalu diganggu oleh masalah air. Dari masa yang paling dini, semasa kerajaan Tarumanagara, prasasti Tugu sudah menyebutkan adanya banjir dan penanggulannya dalam abad ke lima Masehi. Entah mengapa, orang tetap suka wilayah yang sering banjir dan berawa-rawa ini. Berabad-abad setelah Purnawarman, pendatang-pendatang asing mengunjungi bandar yang bernama Jakarta atau Jayakarta yang letaknya di muara Ciliwung. Kota ini seakan-akan terletak di rawa, terpisah dari teluk oleh gosong-gosong lumpur, yang pada waktu surut hanya digenangi oleh air hampir satu kaki. Dalam musim hujan, kota ini tak jarang digenangi oleh air limpahan Ciliwung atau Sungai Besar. Sedangkan, di musim kemarau, airnya sangat sedikit. Keadaan tata air di Jakarta dikatakan sangat kata pengamat Belanda yang waktu itu masih berdagang dan kapal-kapalnya sering menyinggahi bandar itu. Baca Juga Kisah Perjuangan Martha Christina Tiahahu, Srikandi dari Tanah Maluku Namun, tempat yang tata airnya buruk itu agaknya mempunyai daya-tarik besar. Buktinya mereka minta dan diberikan izin oleh penguasa Jayakarta untuk mendirikan gudang dan pangkalan di muara Ciliwung. Gudang yang merangkap kantor itu didirikan pada tahun 1612 di sebelah timur muara kemudian ditetapkan menjadi kantor pusat, tempat pertemuan kapal-kapal Belanda dan pusat perdagangan. Pilihan itu jatuh pada kota Jakarta karena letaknya di tengah jalur pelayaran ke Timur Maluku dan Barat. Dalam pertikaiannya dengan bupati Jayakarta, dan Inggris, akhirnya pada tahun 1619 Jakarta diserbu dan dibakar habis. Belanda menggali parit Di atas puing-puing Jakarta didirikan kota yang diberi nama menurut nama benteng tertua, yakni "Batavia". Kota itu dibangun menurut pola perencanaan sebuah kota Belanda. Terusan-terusan digali berhubungan dengan Sungai Besar Ciliwung. Terusan yang memotong-motong kota dimaksudkan untuk drainase dan lalulintas air, sedangkan yang dibuat melingkungi kota tujuannya ialah pertahanan. Pendangkalan parit Karena sungai membawa lumpur dari pegunungan, maka kemudian terusan-terusan itu mengalami pendangkalan. Untuk mengatasi itu diadakan pengerukan-pengerukan. Pengembangan kota mula-mula ke arah Selatan dan Timur, kemudian juga ke arah Barat, jadi ke tepi kiri Ciliwung memerlukan perluasan sistem terusan ini. Di dalam kota Batavia terdapat 16 terusan yang masing-masing diberi nama seperti Tijgergracht, Garnalengracht, Moorschegracht dan sebagainya. Pada pertengahan abad ke-17 sistem terusan itu diperluas sampai sungai-sungai di luar kota. Perluasan ini sangat penting, sebab dengan demikian persawahan dan ladang tebu di luar kota dapat diairi di samping menjamin pengaliran air ke dalam kota, karena di musim kemarau air Ciliwung sering tidak memadai. Dalam tahun 1647 digali terusan Amanus sekarang masih mengalir sepanjang Bandengan Utara di sebelah Barat dari Kali Angke dan terusan Ancol di sebelah Timur dari Kali Sunter ke arah kota. Selanjutnya antara 1653 dan 1659 digali terusan Bageracht Kali Jelakeng sepanjang Jl. Pekojan yang menghubungkan Kali Angke dengan Kali Krukut, anak sungai Ciliwung. Antara 1678 dan 1686 digali terusan Mookervaart yang sampai sekarang masih terlihat di sebelah kiri jalan raya Jakarta ke Tangerang dari Cisadane di Tangerang ke Kali Angke. Sementara itu pada pertengahan abad ke-17 di sebelah Selatan Ciliwung di sebelah Selatan antara benteng Jacatra di ujung Jl. Jakarta sekarang dan benteng Noordwijk di seberang Hotel Sriwijaya sekarang dibelokkan alirannya yang sekarang merupakan terusan yang ada di sepanjang jalan Gunungsahari dan membelok ke Pasar Baru-Jalan Juanda dan dihubungkan dengan terusan Molenvliet di bundaran Harmoni sekarang. Banjir lumpur Gunung Salak Nama Molenvliet dihubungkan dengan kilang-kilang gula molen= kilang. Karena dari sini harus diambil aliran air untuk penggerak kilang-kilang itu, maka air Ciliwung dibendung di Pintu Air, sekarang dekat Mesjid Istiqlal. Pembuatan terusan-terusan dan saluran air lainnya mungkin memang berguna untuk pertahanan kota, lalu lintas air dan pertanian, tetapi tata air di sekitar Jakarta mengalami kemunduran. Sistem jaringan terusan itu malah menambah bahaya banjir dan pengendapan lumpur. Area tanah yang digenangi air tak mengalir makin luas. Baca Juga Sang Sultan dan Tamansari dalam Catatan Perempuan Eropa Abad Ke-19 Dalam keadaan tata air demikianlah pada tahun 1699 Betawi ditimpa musibah meletusnya Gunung Salak yang mendatangkan banjir lumpur dari pegunungan disertai dengan hujan abu yang lebat. Semua jalan air tersumbat lumpur. Pertambahan tanah pada pantai juga makin memperburuk keadaan masalah drainase yang sudah dalam keadaan tak baik. Garis pantai berpindah sekitar 75 meter ke arah laut dalam waktu sebulan, yang setengahnya terjadi pada tanggal 4 dan 5 Januari sesudah letusan Gunung Salak itu. Setiap banjir, lumpur menyumbat jalan air kembali, padahal pada musim kemarau sebelumnya dikeruk dengan susah payah. Cara melancarkan jalan air dengan pengerukan itu hanya bisa bertahan beberapa tahun, sehingga orang berdaya untuk mengatasi masalah banjir yang datang setiap musim hujan. Pencemaran oleh kilang tebu Pada waktu ini pencemaran air sudah mulai menjadi masalah. Pengendapan lumpur di kali dan saluran lainnya kecuali disebabkan oleh sebab-sebab alami juga ditambah dengan adanya kilang-kilang gula dan persawahan di luar kota. Kilang-kilang gula membutuhkan air, sebab itu selalu dibangun di tepi air, terutama tepi Ciliwung. Semua produk limbahannya, terutama ampas tebu dibuang ke kali. Juga konon meluasnya areal persawahan di luar kota menjadi penyebab pengotoran air sungai. Ada catatan dari tahun 1701 di daerah hulu Ciliwung, yang waktu itu tiada sawahnya, airnya jernih, hilirnya di daerah Seringsing sudah kotor dan berlumpur. Untuk membebaskan saluran-saluran dari lumpur dipakai cara-cara yang bersahaja. Dalam tahun 1685 di terusan dekat Kasteel sudah ada alat pengeruk mekanik, tetapi agaknya kurang berhasil. Kalau kompeni harus turun tangan sendiri, mereka mengerahkan narapidana yang melakukan pengerukan dengan tangan dan alat seperti pacul dan keranjang. Sejak tahun 1700 dipergunakan tenaga pekerja rodi dari daerah Karawang, Ciasem, Pamanukan, dan Cirebon. Tetapi Kompeni hanya mau mengurusi daerah yang langsung menyangkut kepentingannya sendiri seperti sekitar Kasteel dan terusan pelabuhan, sedang untuk terusan-terusan lain, para penduduk sendiri harus mengurusnya. Buang sampah seenaknya Ini dilakukan dengan macam-macam cara. Pernah diundangkan bahwa setiap penghuni harus mengeruk lumpur di parit depan rumahnya atas biaya sendiri. Ini berlaku sampai tahun 1809. Kemudian orang harus membayar semacam pajak dan kotapraja yang mengerjakannya. Dalam tahun 1686 ditarik biaya sebesar seperempat jumlah sewa rumah. Pada waktu Daendels dan tahun-tahun pertama pemerintahan Inggris, tidak dilakukan pengerukan sama sekali, sehingga pada tahun 1815 semua terusan dalam kota penuh lumpur. Kecuali lumpur dari laut dan sungai terusan-terusan Belanda itu sudah dicemari oleh kebiasaan buruk membuang sampah seperti daun-daun, kotoran kuda, sampah dapur, sampah jalan, puing bangunan, bahan pembungkus barang dagangan, semuanya diceburkan seenaknya ke air. Bak sampah sudah ada dalam tahun 1674, tetapi pengangkutannya tak tentu sehingga sampah membusuk menimbulkan bau. Belakangan pengangkutan sampah dilakukan dengan perahu sampah yang berkeliling pada jam-jam tertentu, kedatangan sampan itu diumumkan dengan bunyi-bunyi agar orang siap menyerahkan sampahnya. Perbaikan tata air Dalam tahun 1728 dibuat sodetan dari Ciliwung di bilangan atas daerah Weltervreden kira-kira wilayah Jakarta Pusat sekarang ke lembah Cidang Cideng. Karena lembah itu termasuk daerah aliran sungai Krukut, anak sungai Ciliwung, pengalihan itu tak bermanfaat banyak bagi kota. Sodetan itu kini sudah tak ada. Tak lama setelah berkuasanya Van Imhoff dalam tahun 1746 diusahakan untuk mengalirkan air banjir dengan menggali saluran baru dari terusan yang melingkungi kota di sebelah timur ke laut sekarang daerah Pasar Pisang. Di belakang Kasteel di muara Ciliwung sebelah barat dibuat pintu-pintu air yang dimaksud untuk melancarkan pembuangan lumpur. Sebaliknya daripada melancarkan, pintu air itu malah memperbesar pengendapan. Setelah itu bagian kota itu ditinggalkan. Orang lalu pindah ke sebelah selatan kota, di tepi Molenvliet. Usaha memperbaiki tata air ditinggalkan pula. Di permukiman baru itu agaknya masalah air itu masih cukup mengganggu, sehingga usaha perbaikan lain terpaksa dilakukan juga. Sampai akhir abad ke-18 keadaannya bukan menjadi baik tetapi malah sebaliknya. Demikianlah keadaannya menjelang akhir hidup Kompeni, yang pada pertukaran abad ke-19 diambilalih oleh Negara Belanda. Gubernur Jenderal Daendels yang merupakan pemegang kuasa pertama dari pemerintah Belanda, mencari pemecahannya dengan memindahkan kota ke Weltevreden sambil membiarkan tata air dalam keadaan sebagaimana adanya. Junghun ketinggalan kapal Agaknya orang tidak belajar dari pengalaman Van Imhoff dalam pertengahan abad ke-18, bahwa orang tak bisa menyelesaikan masalah air dengan menghindarinya. Hal ini harus dialami lagi dalam pertengahan abad kota yang baru pun banjir berkali-kali melanda mengingatkan bahwa masalahnya belum dipecahkan. Dalam bulan Januari 1832 sebuah pagelaran Deutsche Militaer Liebhaber-Theater terpaksa dibatalkan karena banjir di Weltevreden. Dalam bulan Januari 1832 peneliti alam termasyhur Junghun akan berangkat dengan kapal api dari Betawi. Untuk tidak ketinggalan kapal, tengah malam buta ia sudah berangkat ke kota yang sedang dilanda banjir. Dalam keadaan gelap gulita ia lalu mengerobok air untuk mencari perahu yang bisa membawanya ke kapal. Tetapi waktu itu tepian dan kali telah menjadi satu dan tiba-tiba ia kehilangan pijakannya sehingga air melampaui kepalanya dan akhirnya sang kapal mengangkat sauh di depan hidungnya. Baca Juga Terasi dalam Catatan Terlawas Penjelajah Inggris Dalam tahun 1872 terjadi lagi banjir besar dengan tinggi air melampaui 1 m yang melanda baik kota bawah maupun kota atas, padahal Departemen Tata Air dan Pekerjaan Umum yang seharusnya menangani masalah ini sudan didirikan dalam tahun 1854. Sehingga orang mengejek singkatan Burgerlijke Openbare Werken sebagai Batavia Onder Water Betawi di bawah genangan air. Waktu itu pemecahan diusahakan, antara lain dengan membuat suatu sodetan pada Kali Grogol dan Kali Krukut. Selanjutnya pengendalian air dengan pintu-pintu pada hilir Kali Krukut di Karet dan Kali Grogol di Jembatan Besi, pula pada terusan Bageracht di Kampung Gusti, pada Kali Angke dan di Jembatan Dua. Ciliwung dibuatkan lagi saluran baru dari Gunungsahari ke arah Ancol dan pembuatan pintu air di Jembatan Merah. Pada waktu itu juga kali Cideng di belokan lewat Kebon Sirih. Banjir kanal Dalam tahun-tahun berikutnya ternyata bahwa usaha-usaha itu belum memadai untuk mengatasi banjir-banjir besar. Paling-paling berguna untuk menyalurkan banjir kecil yang terjadi tiap musim hujan dan biasanya yang terhindar hanyalah bagian kota bawah. Pemecahan tata air yang paling menyeluruh dan berhasil ialah perencanaan perbaikan tata air oleh Ir. H. van Breen yang diajukan pada tahun 1911 dengan banjir kanalnya yang terkenal itu. Pekerjaan ini dimulai dalam tahun 1913 dengan pembuatan saluran dari pintu air Manggarai menyusuri pinggiran kota waktu itu di bagian selatan dan barat untuk akhirnya bermuara di daerah Muara Karang. Setelah dibuat saluran pengalih air banjir boleh dikatakan masalah banjir dapat diatasi, paling tidak di daerah Jakarta yang "gedongan" Patut diingat bahwa pada tahun 1930-an wilayah "gemeente" kotapraja Batavia, tanpa Jatinegara, hanya meliputi luas 155 km persegi dan penduduknya termasuk Jatinegara hanya orang. Setelah kemerdekaan dan menjadi Ibukota Republik perkembangan kota dan pertambahan penduduk mengalami ledakan yang tak pemah dialami sebelumnya. Kalau sebelum perang dunia Batavia direncanakan Belandauntuk bisa menampung sekitar orang penduduk, ternyata pada tahun 1961 jumlah penduduk telah mencapai jumlah 3 juta. Pada waktu sekarang diperkirakan jumlah itu telah menjadi dua kali lipat. Jelas bahwa rencana Breen yang membuat banjir kanal itu sudah tidak banyak manfaatnya lagi setelah tahun limapuluhan. Sementara itu rencana penanggulangan banjir yang menyeluruh dan ditangani secara besar-besaran baru dilaksanakan setelah tahun 1966. Perbaikan demi perbaikan telah dikerjakan, tetapi sementara itu kota dan penduduknya mengembang terus, seperti berlomba dengan peningkatan dan perbaikan prasarana kota. Yang manakah gerangan akan tertinggal? Inilah sejarah banjir di Jakarta yang berhasil dikumpulkan oleh Siswadhi, dan dimuat dalam Intisari edisi Maret 1982 PROMOTED CONTENT Video Pilihan - Hujan yang melanda Jakarta beberapa waktu lalu memnyebabkan banjir yang sempat melumpuhkan sebagian area di Jakarta. Setiap tahun sudah bisa dipastikan beberapa titik banjir akan menghampiri Jakarta. Banjir besar yang melumpuhkan hampir seluruh Jakarta ternyata juga pernah terjadi beberapa kali. Permasalahan banjir ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Belanda. Terbayang dong banjir ini memang sudah menjadi masalah kota Jakarta sejak lama. Berikut adalah 5 banjir besar di Jakarta yang tercatat melumpuhkan semua aktivitas. Banjir besar tahun 1872 Di masa kolonila banjir besar juga sempat melumpuhkan Batavia. Banjir besar yang dikarenakan hujan turun dengan curah 286 milimeter ini membuat kali Ciliwung meluap. Bukan hanya itu saja hujan yang terus menerus turun juga menyebabkan pintu air di depan Masjid Istiqlal jebol. Kawasan Kota Tua dan Harmoni adalah dua lokasi dengan banjir terparah di tahun 1872. Banjir zaman Belanda 1918 Pada masa pemerintahan Belanda saat Jakarta disebut Batavia banjir besar pernah melumpuhkan hampir semua kegiatan masyarakat. Di tahun 1918 banjir besar melumpuhkan Jakarta setelah hujan turun selama 22 hari. Pada tahun itu daerah Lapangan Banteng tergenang lalu daerah Glodok dan Kemayoran juga terkena banjir setinggi 1,5 meter. Ribuan warga di tahun 1918 harus mengungsi di sekitar daerah Lapangan Monas. Banjir tahun 1979 Pada masa pemerintahan Gubernur Tjokropranolo, Jakarta juga pernah terendam banjir sangat besar. Banjir besar terjadi sejak tanggal 19-20 Januari 1979, daerah Pondok Pinang tenggelam ditelan air setinggi 2,5 meter. Bahkan banyak orang hilang saat banjir besar di tahun 1979 ini. Banjir tahun 1996 Banjir di tahun 1996 mungkin bisa dibilang menjadi awal banjir 5 tahun sekali. Curah hujan yang sangat tinggi di bulan Februari 1996 ini mengakibatkan banjir yang sangat luas dan merata di Jakarta. Banjir besar di tahun 1996 merendam Jakarta hingga 7 meter dan korban jiwa mencapai 20 jiwa. Bahkan banjir Jakarta tahun 1996 masuk dalam kategori tragedi nasional. Bencana banjir besar tahun 2007 Banjir 5 tahunan kembali menghampiri Jakarta di tahun 2007. Hujan lebat selama satu hari di bulan Februari menenggelamkan hampir 60% wilayah Jakarta. Tercatat banjir besar Jakarta tahun 2007 ini adalah banjir besar yang pernah tercatat. Hujan yang terjadi di bulan Februari 2007 ini sebanding dengan periode hujan 100 tahun lalu yang mencapai 235 mm. Banjir yang terjadi selama satu minggu lebih ini merenggut 80 jiwa dan warga yang mengungsi mencapai 320 ribu jiwa. Itulah beberapa banjir besar yang melanda Jakarta hingga melumpukan aktivitas warga bahkan hingga menelan korban jiwa. Di musim hujan seperti saat ini ada baiknya kita lebih waspada. Lakukan pencegahan banjir dengan memulai hal termudah yaitu nggak membuang sampah sembarangan, ya Famous People! non - Bencana banjir di sejumlah daerah di Tanah Air seolah peristiwa rutin setiap penghujan. Seperti halnya Ibu Kota Jakarta yang kerap kali tenggelam dalam genangan air bah setelah hujan deras melanda. Seperti baru-baru ini, Jakarta dirundung banjir pada Rabu 1/1 yang bertepatan dengan Tahun Baru 2020. Dilansir dari Kamis 2/1, beberapa wilayah di Ibu Kota dan sekitarnya masih dilanda banjir. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB terdapat tujuh kelurahan di Jakarta yang terendam banjir. Selain di Jakarta, banjir juga melanda sejumlah kawasan di Bekasi, Tangerang, Tangerang Selatan, dan juga Lebak. Banjir di Jakarta ini memang bukan peristiwa baru. Ada beberapa catatan banjir besar pernah melanda Ibu Kota ini, misalnya banjir pada 2007 silam, yang menelan korban jiwa hingga 80 orang. Banjir waktu itu juga melumpuhkan ibukota Jakarta. Jauh sebelum itu, pada 1918 yang kala itu masih bernama Batavia, telah terjadi banjir. Berikut ini beberapa banjir besar yang pernah terjadi di Ibu Kota Jakarta, dikutip dari berbagai sumber, Kamis 2/1. 1. Banjir pada zaman Belanda. foto Banjir pada 1918 di Jakarta ini juga melumpuhkan Batavia. Gubernur Jenderal Batavia Jan Pieterszoon Coen, sampai menunjuk arsitek khusus untuk menangani banjir ini. Banjir waktu itu merendam permukiman warga karena limpahan air dari Sungai Ciliwung, Cisadane, Angke, dan Bekasi. Akibat banjir, sarana transportasi, termasuk lintasan trem listrik terendam air. Dua lokomotif cadangan dikerahkan untuk membantu trem-trem yang mogok dalam perjalanan. Banjir pada tahun itu merupakan yang terparah dalam dua dekade terakhir. 2. Banjir bandang pada 1979. foto Banjir besar juga pernah melanda DKI Jakarta pada era Gubernur Tjokropranolo. Banjir pada 1979 di Jakarta menggenangi wilayah permukiman dengan luas mencapai hektare. Sebelum tahun itu, banjir sebenarnya juga terjadi. Misalnya pada 1876 dan 1918, banjir pernah sampai merendam rumah penduduk, termasuk bekas benteng VOC di Pasar Ikan. Tapi banjir pada 1979, jauh lebih besar dengan jangkauan lebih luas. 3. Banjir Jakarta pada 1996. foto Pada 6-9 Januari 1996, Jakarta terendam setelah hujan dua hari. Sebulan kemudian, 9-13 Februari 1996, tiga hari hujan lebat dengan curah lima kali lipat di atas normal, merendam Jakarta setinggi 7 meter. Akibat banjir, 529 rumah hanyut, 398 rusak. Korban mencapai 20 jiwa, pengungsi. Nilai kerusakan mencapai USD 435 juta. 4. Banjir hebat pada 2007. foto Banjir Jakarta 2007, terjadi pada era Gubernur Sutiyoso. Bencana banjir waktu itu menjadi salah satu yang terburuk. Bayangkan, 60 persen wilayah DKI terendam air dengan kedalaman mencapai 5 meter lebih di beberapa titik. Selain sistem drainase yang buruk, banjir berawal dari hujan lebat yang berlangsung sejak sore hari tanggal 1 Februari hingga keesokan harinya tanggal 2 Februari, ditambah banyaknya volume air 13 sungai yang melintasi Jakarta yang tak tertampung. Banjir 2007 ini lebih luas dan lebih banyak memakan korban manusia dibandingkan bencana serupa yang melanda pada tahun 2002 dan 1996. Sedikitnya 80 orang dinyatakan tewas selama 10 hari karena terseret arus, tersengat listrik, atau sakit. Kerugian material akibat matinya perputaran bisnis diperkirakan Rp 4,3 triliun. Warga yang mengungsi mencapai orang hingga 7 Februari 2007. 5. Banjir menelan korban meninggal pada 2013. foto Banjir besar di Jakarta yang menelan banyak korban jiwa terjadi pada Januari hingga Februari 2013 lalu. Bencana itu menyebabkan 20 korban meninggal dan orang mengungsi. Banjir ini terjadi pada era Gubernur DKI Joko Widodo. Waktu itu, banjir sampai melumpuhkan pusat kota. Air menggenangi kawasan Sudirman, termasuk Bundaran Hotel Indonesia HI akibat tanggul Kali Cipinang, di dekat HI jebol. Diperkirakan banjir menyebabkan kerugian hingga Rp 20 triliun. 6. Banjir tak diduga 2015. foto Selepas banjir pada 2013, air bah datang lagi pada dua tahun setelahnya, pada 2015. Curah hujan tinggi menimpa Jakarta pada 8 Februari 2015 sore. Keesokan harinya, Ibu Kota dikepung air. Dikutip dari Kamis 2/1, tercatat sedikitnya 52 titik banjir tersebar seantero Jakarta. Beberapa kawasan terparah yang sempat tergenang air berada di Kelapa Gading, Mangga Dua, dan Grogol. Genangan air juga terdapat di kawasan Medan Merdeka yang melingkupi kompleks Istana Negara di Jalan Merdeka Utara dan Balai Kota DKI Jakarta di Jalan Merdeka Selatan. 7. Banjir awal tahun 2020. foto Hujan dengan intensitas tinggi mengguyur Jabodetabek sejak malam tahun baru hingga siang kemarin, membuat kawasan Jakarta dan sekitarnya dilanda banjir. Menurut data Kementerian Sosial hingga pagi tadi, ada 21 orang meninggal di Jabodetabek akibat bencana banjir tersebut. Listrik dimatikan di sejumlah titik yang tergenang air di Jakarta, selain itu, beberapa jalur kereta api dan salah satu bandara kota juga ditutup. Seorang anak berusia 16 tahun dikabarkan tersengat kabel listrik, sementara tiga orang lagi meninggal karena hipotermia, kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Jakarta, Subejo, seperti dikutip dari Kamis 2/1. brl/pep Recommended By Editor Banjir surut, ini 6 potret Yuni Shara bersih-bersih rumah 5 Kota di dunia diprediksi paling cepat tenggelam, ada Jakarta 5 Potret Nikita Mirzani ke lokasi banjir, beri bantuan Rp 20 juta Viral mobil BMW hanyut banjir, ini 5 potretnya saat ditemukan Momen 5 seleb ngungsi saat banjir Jakarta, penuh perjuangan 403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID cqEADzbwhpDjmN0ojQXBBFt5vBmH0G7oFDKQG7NmHeMY65bgWNdD1w==

beberapa waktu yang lalu banjir besar melanda jakarta